November 20, 2009

Every Human Could Be Perfect ( Bagian 1)




Semula saya berpikir, “Tega amat!” Tuhan menimbun saya dengan tumpukan penderitaan. Mengapa Tuhan mencipta saya! Jika hidup adalah rangkaian kesalahan yang dikehendaki Tuhan untuk hamba-Nya, untuk apa Tuhan ciptakan surga dan neraka. Bukankah keburukan dicipta Tuhan.

Pernah saya mendongkol, “Tuhan. Jika kesalahan atau keburukan Engkau cipta, surga dan neraka-Mu tak bermakna!” Tuhan mencipta keburukan. Kemudian hamba-hamba-Nya tersandung oleh keburukan itu. Akibatnya hamba-hamba menanggung kesalahan. Jreng… di-cemplung-kan ke dalam kerak-kerak neraka. Seperti tahu digoreng di tungku panas membara. Semula berwarna putih bersih. Akhirnya matang bahkan gosong. Hiii… serem!
“Kemudian Engkau paksa aku mengakui keadilan-Mu. Please… deh!”
Masih terpatri di benakku, dongeng tidur mama ketika kulewati masa kecil di kampung. “Lihat itu, bulan cantik mengambang di langit!” ucapnya, sambil duduk di balai bambu, dia pangku aku. Dia rela aku bersandar di dadanya. Sambil mendekapku, kakinya diayun-ayunkan perlahan.
“Cahayanya berpendar-pendar, membuat gemintang tampak berkedip-kedip. Nak, rasakanlah, semua itu untuk kita nikmati. Betapa Tuhan Maha Indah. Tuhan tahu, bagaimana cara
membuat kita bahagia malam ini.” Tak ada yang paling indah ketika itu, mamaku anugerah terindah dari Tuhan.
Masih kuingat, saat menjelang tidur, mama menarasikan keperkasaan Nabi Daud as mengalahkan para penjahat. Atau ketika mengisahkan kekasih Allah, Ibrahim as yang sakti mandraguna tak mempan dipanggang api. Aku benar-benar seolah jawara saat mama dengan ekspresif menceritakan masa kecil Nabi Musa as ketika menjambak-jambak jenggot Fir’aun. Perasaanku sama, saat mama bertutur bahwa Nabi Isa as mampu berbicara sejak lahir dan mencemooh Bani Israil.
Aku terpukau dan sakaw. Betapa mama mampu menghadirkan sosok Al-Amin yang disandang seorang bocah bernama Ahmad. Dia jujur. Penggembala kambing. Yatim sejak dalam kandungan. Diasuh oleh kakek dan pamannya ketika ayahnya meninggal.
“Nabi Muhammad saw orang suci, nak. Betapa bahagia, Aminah, mama Nabi Muhammad saw. Putra tunggalnya adalah insan teragung di alam semesta. Nak, meski hidup susah, Nabi Muhammad tetap memelihara kejujurannya. Ahlaknya adalah panutan manusia sepanjang zaman. Anakku, kulekatkan namanya di dirimu agar engkau selalu menjadikan dia panutanmu,” ujar mama sambil mengelus-elus dahiku. Ketika itu, imajinasiku menembus ruang dan waktu menuju Mekah. Akhirnya aku terlelap sambil memeluk guling di tempat tidur. Berharap mimpi bertemu Nabi.
Secepat kilat. Waktu merambat. Selepas SMU, tepat tengah malam, kudengar mama berdoa di sudut mushalla rumah, “Ya Allah Tuhan Muhammad saw dan keluarganya, Tuhanku, Tuhan suami dan anak-anakku. Hamba mohon, belas kasihanilah hamba. Tiada tempat hamba mencurahkan kegundahan, kecuali Engkau. Hamba tahu Engkau tidak pernah tidur. Hamba yakin Engkau mendengar keluh hamba. Tuhan sembuhkanlah sakit suami hamba, ayah anak-anak hamba. Kasihanilah dia, putra-putranya masih membutuhkan biaya demi menggapai cita-citanya. Bukankah dari tangannya, Engkau alirkan rezeki-Mu. Ya Allah, sehatkanlah suamiku yang sedang tak berdaya di atas ranjang karena derita diabetes!” Aku hanya bisa mengamini di dalam kamarku yang bersebelahan dengan mushalla. Aku yakin Tuhan mendengar kemudian mengabulkannya.
Tapi apa yang terjadi! Ayahku meninggal. Paru-parunya yang tinggal separuh akibat digerogoti diabetes tak lagi bernafas. Ketika itu aku mengumpat, “Tuhan, mamaku orang shaleh. Jika Engkau tak pertimbangkan doaku, karena aku tak sebaik mama, setidaknya Engkau jaga perasaan mama yang tak henti menyungkurkan dahi sepanjang malamnya!”
Sejak kecil hingga sebelum ayah meninggal, saya selalu berterima kasih atas pesembahan-Nya; mama. Mama persembahkan taman hati bagiku. Rimbun nan mempesona. Di situ saya jumpai aneka warna kembang. Ada yang masih kuncup. Ada pula yang sudah mekar. Beragam warnanya, terlihat indah mempesona dan semuanya wangi. Kujumpai pula retasan air terjun bak butiran berlian berjatuhan dari langit. Di atas genangan airnya, kulihat pelangi tersenyum mengajakku untuk berenang di bening air yang pasti segar dan menyegarkan pori kehidupanku. Semua yang berada di taman itu memerankan tugasnya masing-masing, saling melengkapi satu sama lain. Pohonan rimbun menaungi setiap tumbuhan dan hewan di bawahnya. Rusa-rusa berlompatan bersenda gurau, tertawa geli ketika burung Jalak mematuk-matuk kutu di punggungnya. Kupu-kupu menari riang mengitari bunga mawar yang merekah menebar harum.
Tapi! Sejak ayah meninggal, aku gugat ke-MahaAdil-an Tuhan! Mamaku jatuh sakit. Tak lama berselang dia juga meninggal. Kuliah kakak-kakakku jadi berantakan. Kami menjadi fakir miskin. Akibatnya, hidup kami serba susah. Segala lini kehidupan menjadi momok bagiku. Waktu berlalu pasti, menumpuk penderitaan dari hari ke hari.
Saya ingin tetap ber-Tuhan. Meski prasangka-prasangka buruk saya sandangkan kepada-Nya. Saya tetap melaksanakan shalat. Meski terpaksa melakukannya. Saya juga tetap berpuasa pada bulan Ramadhan. Meski terasa berat. Saya tetap membaca ayat-ayat Al-Quran. Meski jarang-jarang, tak seperti dulu ketika ayah dan Mama masih hidup.
Itu semua saya lakukan karena hanya mau menghormati mendiang mama. Karena saya yakin, mama orang yang cerdas dan bijak jauh melampaui saya. Tentu mama punya maksud dan rencana terbaik buat saya, saat mama mengenalkan Tuhan dan mengajari shalat serta puasa. Saat mama tak pernah kehabisan ide, selalu berinovasi untuk membekali saya dengan dongeng para kekasih Allah Swt saat menjelang tidur malam. Saat menjelang dewasa, saya bertanya, “Ma, apa yang membuat mama mau melakukan itu semua? Saat aku kecil, selalu mama berada di sampingku, melayani aku dan aku benar-benar menjadi raja di rumah.” Jawaban mama singkat, “Karena mama punya Tuhan, Allah Swt.”
Itu yang mendorong saya untuk terus mencari alasan kuat; mengapa saya harus tetap ber-Tuhan. Saya kunjungi perpustakaan. Bekerja apa saja untuk bisa sekedar membeli buku. Menghadiri tempat-tempat diskusi. Bertanya kepada guru-guru. Berharap bertemu Tuhan Yang Baik, Adil dan selalu berpihak kepada hamba-Nya.
Tapi, banyak buku saya jumpai aksaranya palsu belaka. Banyak guru membuat saya semakin buta aksara. Banyak teman diskusi membuat saya mual dan ling lung. Tapi, saya masih mencari alasan mengapa saya tetap ber-Tuhan.
Kemudian saya bertemu Murtadha Muthahari (dalam bentuk tulisan). “Dalam hukum berpikir,” katanya. “Pemahamanmu tentang ke-MahaAdil-an Tuhan disebut falasi. Sesat pikir.”
Ungkapan Murtadha Muthahari itu menampar-nampar muka saya. Falasi; kata ini indah untuk diucap. Merdu di telinga. Tapi buruk di mata para bijak dan mengecewakan para komposer orkestra.

*
Anwar Aris menulis ini sebagai bahan Upgrading pegiat Komunitas DAMAR (Atsawrah dan Mulla Shadra) Malang pada Mei 2007
Murtadha Muthahari adalah seorang filosof Islam yang “merobohkan tiang-tiang” pemikiran Frankfrut dan kapitalisme. Dia adalah murid Imam Khomaini dan Sayid Muhammad Husain Thabathabai.

1 comment:

About